Kemang Avenue: Catatan Ringan Industri Periklanan (1)

0
1726

ADVERTISING-INDONESIA.id – Diskusi sesama insan periklanan Jakarta di warung-warung kopi di Kemang atau di café di selatan Jakarta yang sempat dikenal sebagai wilayah kantor operasi biro iklan Jakarta terasa semakin sepi, bahkan dianggap sudah tenggelam. Komunitas periklanan Indonesia terkena sindrom akut kepercayaan diri ditengah anggapan bahwa agency “dibayar” oleh client.


Banyak hal menarik yang diulas oleh Michael Farmer lewat bukunya yang berjudul Madison Avenue Manslaughter. Buku ini menuturkan dengan rinci ironi yang dihadapi kantor-kantor perusahaan periklanan dewasa ini termasuk perusahaan-perusahaan periklanan ternama dunia yang berkantor di Madison Avenue Amerika.  Isinya adalah potret industri kita juga.

Perusahaan holding seperti Interpublic, Omnicom, WPP, Publicis, Dentsu, Havas memang bertumbuh dan mencatatkan rekor pertumbuhan keuntungan positif yang memuaskan para investor. Dalam bukunya Michael Farmer menyebutkan bahwa WPP, salah satu perusahaan holding terbesar dunia, memiliki pendapatan sebesar 19 miliar dolar pada tahun 2014, dengan PBIT margin sebesar 16,7% dan kapitalisasi pasar sebesar 33 miliar dolar. Perusahaan ini mengoperasikan unit bisnis advertising, data marketing, public relations, branding, helthcare, direct, digital, promotion dan specialist communications.

WPP, salah satu perusahaan holding terbesar dunia, berpendapat-an 19 miliar dolar pada tahun 2014, PBIT margin 16,7% & kapitalisasi pasar sebesar 33 miliar dolar.

Namun terlepas dari kesuksesan perusahaan-perusahaan holding tersebut, hampir semua ad agency besar mengalami kondisi keuangan dan operasi usaha yang melemah, hingga kemudian menyerah dan diakuisisi oleh satu dari perusahaan-perusahaan holding tersebut di atas.

Melemahnya bisnis biro iklan bukan karena tanggung-jawab atau tugas biro iklan yang semakin berkurang atau bukan karena semata-mata lambatnya antisipasi para eksekutif biro iklan dalam mengantisipasi tren.  Biro iklan semakin terjepit, terperangkap antara menurunkan agency fee dan meningkatnya volume pekerjaan sementara mereka harus juga memperbesar marjin yang harus disetor kepada para pemilik perusahaan.

Jalan yang harus ditempuh oleh pengelola biro iklan dalam mengelola konflik ini adalah melakukan pengurangan staf atau menyesuaikan biaya dan jumlah staf. Hal ini semakin melemahkan biro iklan ditengah-tengah tuntutan client yang terus mendesak biro iklan agar lebih kreatif, meningkatkan layanan digital dan hasil yang semakin berkualitas – dan semuanya berlangsung di tengah suasana pitching yang semakin panas. Pitching jelas harus diikuti namun semakin menyiksa karena frekuensinya semakin sering bahkan bisa terjadi di tengah-tengah kontrak.