Masa Depan Industri Advertising Indonesia
Simak, Tuturan Jernih Gandhi Suryoto (Bag-1)

0
4464

Uraian Panjang Gandhi Suryoto, Legenda Kreatif Indonesia, Soal Masa Depan Industri Advertising

Saya ini adalah orang advertising Zaman Woodstock, demikian Gandhi Suryoto membuka perbincangan kami pagi, 6 Desember 2017 di Citos Jakarta Selatan. Pengakuan ini seolah mau memastikan bahwa, bukan dirinya bukan sekedar orang advertising ‘zaman old’ tapi lebih tegas lagi ‘zaman woodstock’.

Tapi itu adalah kalimat pembuka yang ringan dan membuat suasana perbincangan kami lebih segar. Apakah ada yang salah dengan orang periklanan ‘zaman old’ atau apakah ada jarak pemisah antara generasi digital atau apakah orang advertising ‘zaman now’ terputus dengan orang advertising ‘zaman old’?. Lebih spesifik lagi, apakah media konvensional benar-benar sudah tidak menarik sebagai media iklan? Bagaimana media konvensional bisa bertahan kalau tiak ada iklan? Bagaimana nasib advertising agency di tengah arus dan gelombang digital advertisin saat ini?

Konsisten Dalam Menciptakan Karya Kreatif Yang Kualitas

Gandhi bertutur bahwa pemain lama harus melakukan reformasi dan kalau masih saja mengacu kepada kejayaan masa lalu atau sejarah di masa 17.65%, maka sudah pasti berat sekali.

“Untuk menghadapi situasi persaingan saat ini menurut saya semuanya lebih kembali kepada individu kreatif itu sendiri. Sikap mental atau seberapa kuat dan seberapa kreatif mereka menyikapi industri yang sat ini benar-benar evolve. Jangan pakai konsep lama lagi,’’ tutur Gandhi Suryoto, seorang legenda kreatif periklanan Indonesia.

Menurut Gandhi, salah satu cara untuk bertahan adalah dengan menjaga kualitas konten, bukan media, bukan channel. Konten menjadi alat kita bernegosiasi dengan client. Kita sangat paham bahwa saat ini membuat video atau membuat media sendiri itu sudah umum, banyak brand atau perusahaan mempunyai media sendiri. Namun bagaimana membuat kualitas yang baik dan melakukannya secara konsisten adalah persoalan lain. Kita masih sering menemui adanya gap antara knowledge dan skill di kalangan para praktisi, khususnya praktisi muda, dan hal ini cenderung menghasilkan mutu produksi akhir yang tidak begitu baik.