Andi Sadha, Co-Founder Activate
Agency Akan Menemukan “Business Role” yang Baru

0
11651


ADVERTISING-INDONESIA.id – Andi Sadha, dikenal sebagai seorang senior di dunia advertising di Indonesia.  Berbagai pengalaman di agency di Indonesia pernah ia jalani 
mulai dari Ogilvy, MindShare, Starcom, co-founding independen media agency Activate serta aktif mensupport industri sebagai Chairman APMF dan Co-Chairman Ideafest.  Advertising-Indonesia.id berkesempatan untuk mewawancarai Andi Sadha untuk menggali perpesktif dunia advertising saat ini di Indonesia. 

Q: Bagaimana menurut Anda dalam menyikapi perang Agency Fee saat ini?

Asosiasi memiliki peran penting untuk menata ekosistem persaingan yang sehat. Agency harus mencermati peluang-peluang baru, sehingga bisa menemukan cara yang lebih baik mendapatkan income dibanding harus berkompetisi, adu murah agency fee. Talent juga harus melihat apakah agency bersangkutan masih merupakan tempat yang baik untuk mengembangkan karir (potensi)-nya.

Agency sekarang banyak sekali yang baru, tidak hanya yang kita kenal pada 5 tahun yang lalu. Sekarang ada sosial Media Agency, Digital Agency, Video Content Agency, Full Service Agency, Agency khusus Google saja ada, Agency khusus Instagram juga ada dan lain lain. Makanya saya yakin industri advertising ini tidak akan mati tapi berubah pola bisnisnya juga. Era digital ini memberikan ancaman terbesar buat mereka yang gak mau berubah menjalankan pola bisnisnya tapi juga mendatangkan banyak peluang baru untuk mereka yang terus berinovasi.

Kedepannya Industri periklanan masih akan tetap dibutuhkan karena keahlian berkomunukasi atau menyampaikan pesan memang harus di bangun (develop) dengan orang yang berkecimpung didalamnya.

Q: Apakah perang Agency Fee akan terus terjadi?

Itu pasti, karena terjadi pergeseran yang luar biasa dari korporasi menjadi Boutique Agency. Korporasi adalah struktural dimana pegawainya bisa mencapai 100 malah bisa lebih. Secara finansial mereka memiliki financial planning. Sementara kalo kita bicara soal teknologi Boutique Agency itu akan terus berkembang berlima saja sudah bisa buat Boutique Agency, semudah itu sekarang. Itu yang seringkali membuat terjadi perubahan konsep. Jadi dengan perusahaan besar dengan pengalaman puluhan tahun mereka berhadapan dengan pihak lain yang bukan hanya memiliki pengalaman tetapi dengan struktural yang kecil. Dilihat dari situ saja pasti sudah terjadi pertempuran. Satu dari sisi cost saja sudah beda. Klien hanya melihat bagaimana konsep yang dirasa lebih baik yang seimbang dengan yang yang diinvestasikan mereka untuk beriklan. Adakalanya yang menang yang kecil, secara natural pun bisa memberikan fee lebih rendah. Disisi lain pun kita sering melihat marketer yang melihat ide itu hanya berdasarkan harga. Kalau ada yang lebih murah kenapa harus yang mahal? Walaupun pada kenyatannya, idenya itu tidak strategis dengan goal bisnisnya. Tidak sekomprehensif atau tidak sestrategis dengan ide yang ditawarkan oleh perusahaan besar. Tetapi kalau itu terus terjadi, mau tak mau perusahaan besarpun menyesuaikan mereka punya harga (anggaran). Disitulah terjadi perang sesungguhnya. Kalau agency yang besar saja berani nurunin harga maka itulah sesungguhnya industri yang terjadi, yaitu saling sikut.

Apakah hal ini akan berhenti? Nggak, ini akan terus terjadi siapapun pemimpinnya di advertising agency sampai ditemukan formulasi baru bagaimana supaya menata keberlanjutan (sustainability) bisnisnya. Kalau gak kuat bersaing ya akan hancur juga. Itu yang terjadi terkait dengan perang agency fee. Sekarang mestinya kita harus melihatnya berdasarkan value sebuah ide, atau konsep bukan berdasarkan murah atau mahalnya harga sebuah ide. Karena selama pelaku agency menerima hasil karya berdasarkan (parameternya) harga termurah ya akan selamanya perang ini akan terjadi. Bahkan malah bisa tambah sengit. Pada akhirnya bukan juga berdasarkan besar kecilnya sebuah agency itu. Ide adalah ide. Itu saja jangan dicampuradukan dengan yang lain.