Kreativitas “Me Too” adalah kreativitas yang mirip dengan hasil karya kreatif pihak lain. Sehingga sering diibaratkan dengan seseorang yang sedang bercermin.

Malam itu saya sedang beristirahat di sofa ruang tamu. Sambil duduk saya buka instagram dan tampilan pertama muncul adalah banner konten dari brand oli motor dengan model seorang pria Asia sedang mengendarai motor. Saya kemudian scrolling ke bawah lalu menemukan model banner konten yang sama dengan yang di atas, namun setelah diperhatikan rupanya berasal dari brand oli yang berbeda. Lho, kok model iklannya bisa sama, tapi dengan brand oli motor yang berbeda?

Setelah saya telusuri, ternyata materi model iklan itu berasal dari layanan stock images yang ada di internet. Ah, rupanya ada 2 brand yang menggunakan foto tersebut dan sangat mungkin bahwa kedua brand tersebut tidak saling mengetahui bahwa mereka mengambil dan menggunakan foto yang sama. Lalu apa output-nya? Ya tentu saja bahwa publik melihat kreativitas brand tersebut terlihat mirip. Biasanya di dalam dunia kreatif disebut “Me Too” atau “Sama, aku juga”.

Tentu saja, kreativitas “Me Too” tidak baik untuk brand. Pertama, karena brand identity akan rancu dengan brand lain karena kemiripan kreativitas. Kedua, pesan yang disampaikan pun akan membingungkan karena kemungkinan besar publik akan melihat dua foto yang sama, tapi dengan pesan yang berbeda. Apalagi jika komposisi foto tersebut sebesar 70% dan area teks headline sebesar 30%.

Apakah penggunaan foto itu salah? Dari sisi brand kreativitas “Me Too” tentu itu sebuah kesalahan, tapi siapa yang menyangka bahwa bisa muncul di saat yang bersamaan dan digunakan oleh brand lain?

Brand identity dibutuhkan untuk menghindari kejadian kreativitas “Me Too”

Bagaimana Cara Menghindari Kreativitas “Me Too”?

Tak lain caranya adalah dengan memperkuat brand identity di setiap konten post media sosial ataupun melalui media lainnya. Cobalah untuk membuka kembali buku panduan jenama atau brand guideline lalu baca dengan seksama. Dari brand guideline Anda bisa mengetahui elemen lain selain foto seperti posisi logo, jenis font hingga komposisi area headline dengan foto.

Terapkanlah brand identity secara konsisten karena identitas itu terbangun melalui proses waktu dan memori dari target market. Jika brand identity itu sudah melekat di dalam pikiran target market, dan ketika ada kejadian kreatif “Me Too” maka target market masih bisa mengidentifikasi bahwa kreativitas itu adalah milik brand Anda dan brand lain mencoba meniru.

Cara lain untuk menghindari kreativitas “Me Too” adalah dengan menggali insights dari target market lalu ciptakan pesan dan kreativitas yang benar-benar unik. Keunikan pesan dan kreativitas itu akan diingat oleh target market brand Anda. Dari sisi kreativitas pun harus lebih banyak eksplorasi, jadi tidak sekadar memasukan materi foto mentah dari stock image tanpa ada sentuhan kreativitas seperti penggunaan 2 foto, layering, gradasi hingga pemberian efek gerak (motion).

Memang benar, kejadian konten kreatif yang “Me Too” terkadang tidak bisa dihindari karena brand sulit untuk mengetahui aktivitas apa yang dilakukan oleh brand lain. Tapi percayalah, jika brand identity itu sudah melekat dan kreativitas terus digali, maka target market bisa mengenali brand Anda meski ada kreativitas lain yang mirip, apalagi jika didalamnya terdapat visualisasi produk Anda. Jika brand identity sudah kuat terbangun maka kejadian kreativitas “Me Too” bukan lagi ancaman.