Catatan Ringan
Geliat Industri Advertising Agency Era 80an hingga 2000an

0
1719
advertising-indonesia.id – Para praktisi periklanan di era 80an hingga 2000an kerap berbaur menikmati kehidupan komunitas periklanan Indonesia dalam suasana yang akrab bagai keluarga dalam rumah besar periklanan Indonesia.

Aktivitas periklanan Indonesia diketahui mulai berkembang sejak era 50an bahkan secara historis aktivitas periklanan di Indonesia sudah terjadi jauh sebelumnya yaitu di era kolonial Belanda.   Namun geliat industri periklanan di Indonesia era 80 hingga awal tahun 2000an diakui menjadi salah satu era yang sangat menarik untuk dibahas.  Pada masa tersebut, industri advertising agency masih diramaikan oleh sejumlah besar perusahaan periklanan lokal bernama besar yang menjadi pelopor aktivitas strategis periklanan di Indonesia.

Hanya ada beberapa perusahaan periklanan asing di era 90an yang mulai meramaikan pasar periklanan Indonesia dengan mengajak sejumlah perusahaan periklanan lokal untuk berafiliasi, seperti: Grafik dengan McCann-Erickson, Perwanal dengan DMB&B, Komunika dengan BBDO, Bates Mulia Indonesia, Fortune dengan DDB, Indo Ad dengan Ogilvy.  Era tersebut juga dikenal sebagai masa keemasan full service advertising agency dimana media-media konvensional menjadi media utama di Indonesia. Belum terbayangkan akan munculnya media specialist atau creative specialist yang kelak akan mengubah tatanan dan  eksistensi layanan penuh agensi periklanan.

Masih kuat dalam ingatan nama-nama advertising agencies lokal pelopor ragam hasil kerja kreatif yang fonemenal seperti Matari, Fortune, Grafik, IndoAd, Citra Link, Citra Lintas, MACS909, Hotline, Inter Admark, AdForce, AdFokus, dan Komunika.

Merekalah pelopor industri periklanan Indonesia yang berkembang pesat di bawah pimpinan sejumlah tokoh periklanan Indonesia seperti Indra Abidin (Fortune Indonesia) dan Ken Sudarto (Matari Inc.).   Di sisi perusahaan media teringat nama besar Tempo, Forum, Editor, Gatra, Femina, Kartini, Sarinah, Nova, Hai, Matra, Kompas, Popular, Suara Pembaruan, Pos Kota, Sinar Harapan, dan berbagai media cetak daerah terkemuka, serta sejumlah saluran radio terestrial.

Para praktisi periklanan di era 80an hingga 2000an berbaur menikmati kehidupan komunitas periklanan Indonesia dalam suasana yang akrab bagai keluarga dalam rumah besar periklanan Indonesia.  Era tersebut dikenal sebagai era emas industri periklanan Indonesia dimana hubungan agensi dengan agensi, agensi dengan klien, media, dan rumah produksi berjalan dalam suasana yang relatif tenang. Agency fee masih sangat kompetitif, agency commission juga relatif tinggi.

Perang agency fee relatif jarang terjadi, sementara hubungan antara klien dengan agensi terjadi dalam suasana yang akrab.  Tekanan terhadap agensi yang dilakukan oleh klien tetap muncul namun dalam batas yang masih bisa ditoleransi. 

Perpindahan klien lewat pitching competition juga terjadi namun hampir tidak menciptakan ‘kegelisahan’ yang berarti.  Pitching berlangsung dalam suasana egaliter sekalipun dalam berbagai kesempatan pitching pengumuman pemenang kerap tidak terdengar.  Para praktisi periklanan era tersebut kerap bertemu dalam satu ruang tunggu saat diundang mengikuti pitching oleh klien dan berbincang akrab sambil menunggu giliran presentasi masing-masing.

Pada level komunitas, pertemuan antar sesama praktisi periklanan kerap dilakukan dalam suasana yang sangat cair, mereka berkumpul dalam obrolan ringan dengan tema yang popular.  Antar sesama komunitas periklanan tampil sangat egaliter dengan guyonan ala Djoko Lelono, Budiman Hakim, dan Subiakto Priosoedarsono.  Majalah Cakram yang diproduksi oleh Matari secara rutin mengeluarkan info peringkat biro iklan sebagai daftar yang memberi peringkat biro iklan berdasarkan berbagai faktor seperti pendapatan, kepuasan klien, hasil kreatif, dan reputasi industri. Peringkat ini memberikan wawasan tentang biro iklan terkemuka di Indonesia dan kinerja mereka di industri.  Peringkat biro iklan berdasarkan kapitalisasi billings kerap diperbincangkan sebab angkanya kerap menunjukkan besar kecilnya volume bisnis sebuah perusahaan periklanan.

Kehangatan tersebut kemudian perlahan memudar.  Industri periklanan Indonesia sempat didera penderitaan yang hebat ketika pada tahun 1998 Indonesia dilanda krisis moneter dan ekonomi yang juga menghantam keras industri brand dan pemasaran.  Kejadian ini berlangsung cukup lama atau menunggu lebih dari 5 tahun untuk pulih secara perlahan.

Situasi dan kondisi industri periklanan Indonesia selepas krisis moneter dan ekonomi tahun 1998 dan kemudian pasca masuknya pemain asing di bawah bendera Media Specialist Services Agency akan kita bahas pada bagian berikutnya.