
|
|
“Pola konsumsi masyarakat sekarang sudah bergeser, dari belanja barang ke belanja pengalaman, wisata, hiburan,” ungkap Jokowi pada pembukaan acara tersebut. Perubahan pola ini berdasarkan hasil penelitian yang diadakan BPS dimana pertumbuhan restoran dan hotel meningkat sebesar 5,7%. Hal ini berbanding dengan konsumsi rumah tangga yang berada dibawanya yaitu hanya 4,95%. “Sekarang, di media sosial, menentukan status bergengsi bukan lagi barang mewah. Yang menentukan itu pengalaman, petualangan yang di-upload,” tambah Presiden Jokowi.
Jika melihat data dari BPS tersebut memang menjadi hal yang perlu dicermati oleh semua pelaku industri di Indonesia termasuk pelaku advertising dan media. Selama ini belanja atau konsumsi rumah tangga lebih dominan daripada belanja yang lain. Hal ini tentu saja diserap oleh produk cepat habis (FMCG) sehingga menempatkan belanja iklan yang superior dibandingkan belanja iklan lainnya. Namun, tren media sosial mengubah peta tersebut sangat cepat. Hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun, belanja iklan kategori FMCG disalip oleh belanja iklan kategori e-commerce ataupun online. Makanya tidak heran jika selama ini Traveloka menempati ADEX tertinggi sepanjang Januari sampai Agustus 2017 mengalahkan belanja iklan dari kategori FMCG.
Baca juga: Iklan Meikarta Per September Tembus 1,2 Triliun!
Setelah Pengalaman Belanja Lalu Apa?
Bagi industri di sektor FMCG, tren sosial media bisa dibilang kurang berpihak karena pertumbuhannya tidak besar di tahun ini. Sementara itu bagi industri media, nyaris tidak berdaya. Media sosial mengubah pola komsumsi menjadi benar-benar fenomenal. Kini semakin terbuka harga-harga yang murah untuk mendapatkan pengalaman yang baru ditambah dengan teknologi di smartphone yang sangat menunjang “eksistensi” perilaku konsumen Indonesia saat ini.
Indonesia saat ini seperti sedang berada di titik “0” dimana kehidupan dimulai dari awal lagi. Sulit bagi pakar komunikasi ataupun marketing untuk melihat mau kemana arah industri advertising dan media saat ini. Pada kenyataannya, ketika pelaku industri advertising dan media mengambil referensi dari Amerika, tetap saja sulit untuk diaplikasikan di Indonesia. Misalnya di Amerika saat ini sudah ada tren untuk kembali membaca novel dalam bentuk fisik cetak, tapi hal itu sulit terjadi di Indonesia. Atau misalnya di Amerika saat ini, ketika orang mulai meninggalkan media sosial dan beralih ke podcast hal itu sulit terjadi di Indonesia.




























