Berperang Melawan “Robot” di Media Sosial

0
1552

ADVERTISING-INDONESIA-id – Pernyataan Jack Ma yang meralat bahwa robot akan menjadi pesaing utama manusia akhirnya diralat. Pernyataan ini tentu bukan sembarang pernyataan, apalagi jika yang berkata adalah Jack Ma sang raja e-commerce dari Tiongkok. Visi ini tentu saja perlu kita sikapi dengan bijaksana. Apalagi di era digital dimana semua menggunakan perangkat teknologi. Termasuk marketing communication yang menggunakan platform digital.

Cepat atau lambat, Kecerdasan Buatan (Artificial Intelectual) di bidang teknologi akan merambah ke semua platform teknologi. Hingga pada akhirnya, semua penemuan teknologi dihadapkan pada dua pilihan yaitu teknologi yang membangun dan mendukung kelangsungan manusia atau yang menghancurkan manusia?

Dalam konteks teknologi digital saat ini, anehnya, masih saja terjadi jual-beli follower di sosial media. Konon semakin banyak follower dipercaya bisa meningkatkan kepercayaan publik bahkan advertiser. Atau dengan kata lain, semakin banyak “likes” atau “loved” maka semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan oleh advertiser.

Lalu apa yang membuat platform digital bisa menjadi rapuh (fragile) dihadapan advertiser? Salah satu diantaranya adalah KPI berdasarkan jumlah audiens.

Advertiser tentu tidak akan puas jika KPI hanya ditunjukan berdasarkan berapa banyak jumlah viewers, likers atau follower di saluran (channel) brand. Terkadang KPI sebuah agency juga dinilai dari berapa banyak audiens yang berinteraksi? Berapa banyak sales yang dicapai? Berapa jumlah “leads” yang bisa didata? Tekanan-tekanan seperti ini yang membuat agency bergerak “at any cost” dan hanya mementingkan hasil akhir tanpa melihat proses tahapan komunikasi.

Lalu apa yang membuat platform digital bisa menjadi rapuh (fragile) dihadapan advertiser? Salah satu diantaranya adalah KPI berdasarkan jumlah angka audiens seperti viewers, likers dan followers tanpa melihat aspek komunikasi yang lebih besar. Permasalahan klasik lainnya yang terjadi adalah validitas data. Masalah ini hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum terpecahkan. Baik oleh advertiser maupun agency sendiri. Tentu saja, semua pihak menginginkan audiens yang berinteraksi dengan brand adalah audiens yang natural dan bukan robot atau mesin.